Tingkatkan Risiko Demensia Studi Ungkap Kemiskinan Bikin Otak Cepat Tua

oleh

Tanda penuaan tersebut berupa white matter atau materi putih di otak yang terlihat dalam pemindaian MRI. Selain itu, hasil tes kognitif atau kemampuan berpikir responden yang berasal dari ekonomi lemah juga lebih rendah dibandingkan kelompok tingkat ekonominya. Dikutip dari Science Alert, white matter atau materi putih sangat penting dalam hal pergerakan pesan dan sinyal di sekitar otak. Sedikit banyak jumlahnya dapat berdampak pada kemampuan kognitif seseorang Studi ini mendeteksi seberapa bebas molekul bergerak melalui otak atau sering disebut difusivitas rata-rata. Pada orang-orang dengan pendapatan rumah tangga yang lebih tinggi, penanda penuaan otak pada materi putih ini tidak memiliki banyak efek negatif pada kemampuan berpikir atau kognitif. “Individu dari rumah tangga berpenghasilan tinggi menunjukkan kinerja kognitif yang terjaga (tetap prima), bahkan dengan difusivitas rata-rata yang lebih besar,” tulis keterangan di jurnal tersebut. Tampaknya, orang yang hidupnya sejahtera cenderung memiliki “penyangga” terhadap penurunan kognitif meskipun tetap terdapat perubahan fisik. Dalam riset ini, tim tidak memeriksa semua faktor sosial dan lingkungan yang mungkin memengaruhi materi putih di otak, seperti depresi atau tekanan mental lainnya. Namun, secara umum peneliti dapat memberikan bukti bahwa menjadi lebih mapan secara finansial berarti otak bisa lebih awet sehat.

Kemiskinan akan meningkatkan risiko demensia Masih berhubungan dengan otak, studi dalam jurnal Alzheimer’s Association’s Alzheimer’s & Dementia yang dipublikasikan pada Kamis (14/3/2024) juga menemukan bahwa kemiskinan dikaitkan dengan peningkatan risiko demensia. Sebagai informasi, demensia adalah penurunan fungsi otak yang ditandai dengan penurunan daya ingat dan gangguan berpikir, dikutip dari laman Yankes Kemenkes. Dilansir dari Duke Today, para peneliti mengamati rekaman medis dari 1,41 juta warga Selandia Baru untuk mencari pola antara kemiskinan dan risiko demensia

Tim tersebut mengamati seberapa mampu atau tidak mampunya kondisi ekonomi responden pada setiap alamat warga Selandia Baru yang diteliti. Mereka menggolongkan kemampuan ekonomi pasien dalam skala satu sampai sepuluh dengan menggunakan informasi dari sensus nasional. Peneliti juga menggunakan faktor ekonomi dan data pasien seperti pendapatan rata-rata, pekerjaan, tingkat pendidikan, aksesibilitas transportasi, serta faktor-faktor terkait lainnya. Dalam studi tersebut, peneliti menemukan bahwa mereka yang tinggal di daerah tertinggal memiliki peningkatan risiko terkena demensia sebesar 43 persen, selama 20 tahun pengamatan. Meskipun demikian, peneliti mengatakan bahwa temuan ini masih menyisakan pertanyaan, seperti apakah tanda-tanda biologis dari degenerasi saraf yang berhubungan dengan lingkungan dapat dilihat lebih awal di masa dewasa. Sementara itu, diperkirakan 58 juta orang di seluruh dunia saat ini menderita demensia dan jumlahnya diprediksi meningkat tiga kali lipat menjadi 150 juta pada tahun 2050. Meskipun kasus demensia diperkirakan akan meningkat, namun hingga kini belum ada obat yang efektif untuk menangani penyakit tersebut. Para peneliti kini mencari cara untuk mencegah daripada mengobati demensia melalui perubahan gaya hidup, seperti perbaikan pola makan dan olahraga.

Sumber :KOMPAS.com

No More Posts Available.

No more pages to load.